Martias Franvius Liu-Gunadarm Martias Franvius Liu-Gunadarma

Blog

Senin, 29 Maret 2010

WAWASAN NUSANTARA

Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut teritoriaal. Lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal.

ACHIPELAGO

Sebagai negara maritim dan kepulauan (the archipelagic state) terbesar di dunia, dengan 17.500 lebih pulau dan 81.000 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada) serta 75 persen (5,8 juta km2) wilayahnya berupa laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia memiliki batas-batas wilayah berupa perairan laut dengan 10 negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua Niugini, Australia, Timor Timur, dan Palau.

Sementara wilayah darat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga hanya dua, yakni Malaysia di Kalimantan dan Papua Niugini di Papua. Penetapan dan penegakan batas wilayah merupakan hal yang sangat krusial karena menyangkut kedaulatan wilayah Indonesia di laut, aspek perekonomian (pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan), dan aspek hankam serta stabilitas kawasan.

ZEE

Adapun batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga meliputi:
(1) batas laut teritorial,
(2) batas zona tambahan,
(3) batas perairan ZEE, dan
(4) batas landas kontinen.
Yang dimaksud laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai yang meliputi ruang udara dan laut serta tanah di bawahnya sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal.




Zona tambahan mencakup wilayah perairan laut sampai ke batas 12 mil laut di luar laut teritorial atau 24 mil laut diukur dari garis pangkal. ZEE adalah suatu wilayah perairan laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal; yang mana suatu negara pantai (coastal state) memiliki hak atas kedaulatan untuk eksplorasi, konservasi, dan pemanfaatan sumber daya alam.


DEKLARASI JUANDA

Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 merupakan awal perjuangan Indonesia menyatukan wilayahnya yang berhasil diakui secara internasional dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Conventions on Law of The Sea (UNCLOS)1982. Namun demikian hingga setengah abad setelah Deklarasi, Indonesia belum mampu menjadikan laut untuk kejayaan dan kemakmuran negara dan bangsanya.


Sampai saat ini banyak orang Indonesia tidak menyadari arti penting Deklarasi Juanda yang diumumkan setengah abad yang lalu. Deklarasi tersebut dianggap seperti keputusan pemerintah biasa yang tidak memiliki konsekwensi strategis terhadap Indonesia. Seandainya kita masih memberlakukan Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939 yang hanya mengakui batas laut wilayah 3 mil di setiap pulau, maka terdapat perairan internasional yang memisahkan wilayah kedaulatan Indonesia. Kondisi ini tidak saja berpotensi ancaman terhadap keamanan wilayah Indonesia dan regulasi kelautan domestik, namun juga mempersempit pemanfaatan potensi laut bagi ekonomi nasional.


Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak ber-lebihan bila Prof Hasyim Djalal menyatakan bahwa Deklarasi Juanda pada hakekatnya merupakan salah satu pilar utama bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pilar pertama adalah kesatuan Kejiwaan yang dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dengan pernyataan tekad satu nusa, bangsa dan bahasa yaitu Indonesia. Pilar kedua adalah kesatuan kenegaraan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 dengan pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan pilar ketiga adalah kesatuan wilayah darat-laut-udara yang dinyatakan dalam Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.


LUAS DARATAN (Kebijakan & Sumber Alam)

Mulai dari buku pengantar di sekolah dasar sampai buku-buku ensiklopedia berbahasa asing kita dapat dengan mudah memperoleh berbagai informasi tentang Indonesia. Seluruh dunia tahu bahwa Indonesia merupakan negara besar yang tersusun dari lebih 17 ribu pulau kecil dan besar, baik yang sudah memiliki nama maupun yang belum. Luas wilayah Indonesia termasuk ZEE yang mencapai 7,7 juta km persegi, dengan perbandingan luas lautan dan daratannya adalah 3:1 sudah kita hapal di luar kepala.

Tuntutan agar mendapat perlakuan khusus ini diajukan agar pulau-pulau kecil di wilayah provinsi kepulauan yang selama ini terabaikan terutama di daerah perbatasan yang menjadi beranda negara memperoleh pemberdayaan. Dari provinsi kepulauan yang ada misalnya, Kepulauan Riau memiliki 20 pulau terluar dan Maluku 18 pulau terluar.


Hanya saja, kata dia, Deklarasi Juanda tidak di follow-up oleh pemerintah secara bijak. Padahal, Pemerintah Indonesia turut memperjuangkan pengakuan itu sejak tahun 1982 dalam Konfrensi Internasional di Montego Bay pada 10 Desember 1982. Konfrensi tersebut mencetuskan archipelago state dan Unclos (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang mengatur batas negara kepulauan. Unclos telah diratifikasi Indonesia dengan dikeluarkannya UU Nomor 17 tahun 1985.


“Mestinya setelah diratifikasi, Unclos yang tadinya menjadi konvensi hukum internasional, sudah menjadi hukum nasional. Tapi dalam perkembangannya, regulasi-regulasi yang dikeluarkan belum mengabdi pada Indonesia sebagai negara kepulauan. Untuk itu, yang merasa dirugikan adalah kami dari provinsi-provinsi kepulauan,” ujarnya.


Lailossa mengatakan, dalam UU Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah mengupayakan agar fiskal yang diterima sebagai pendapatan nasional dibagi secara baik, rasional, objektif, kepada seluruh provinsi di Indonesia. Namun pembagian yang merupakan idikator dalam UU 33 yakni standar pelayanan minimum (SPM) mengacu pada lima aspek yakni luas wilayah, jumlah penduduk, income per kapita, PDRB dan indeks kemalang konstruksi. Lima indikator tersebut yang mengukur bagaimana DAU dibagi ke daerah.


Indikator yang sangat merugikan dari lima aspek ini, kata Lailossa, adalah luas wilayah yang dihitung berdasarkan luas daratan. Dalam UU nomor 32 tahun 2004 tidak disebutkan wilayah itu adalah darat atau laut, tetapi PP 55 tahun 2005 memberi batasan bahwa yang disebut luas wilayah adalah daratan. “Kalau luas wilayah darat yang di hitung maka kita dirugikan karena tidak menghitung luas wilayah Maluku yang notabene 92,7 persen adalah lautan ,” paparnya.


Selain pembagian DAU, provinsi kepulauan yang kaya akan potensi laut juga dirugikan dalam pembagian dana bagi hasil. Berbeda dengan daerah penghasil dari sektor energi, kehutanan, perkebunan, daerah asalnya mendapat kebagian 22 persen, baru sisanya dibagi ke daerah lain, dan berlaku pada semua sektor. Berbeda dengan itu, sektor perikanan justru tidak dibagi ke daerah pengasil karena alasan ikan tidak diketahui daerah domisili.

LUAS LAUT (Kebijakan & Sumber Alam)

Laut kita menyimpan warisan terpendam.. Karenanya, semangat bahari warisan nenek moyang kita perlu digelorakan sepanjang zaman. Menurut data United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), luas wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan laut 3,1 juta km2, yang terdiri atas Perairan Kepulauan seluas 2,8 juta km2 dan Wilayah Laut seluas 0,3 juta km2. Di samping itu, Indonesia memiliki hak berdaulat atas sumber kekayaan alam dan berbagai kepentingan yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang telah diakui secara internasional seluas 2,7 juta km2.

Kebijakan deregulasi yang dilaksanakan pemerintah untuk mendayagunakan potensi ZEE memang tepat. Namun juga perlu dibarengi dengan terobosan strategis dalam pemberdayaan kaum nelayan tradisional. Sejak dulu hingga sekarang, yang namanya pemberdayaan nelayan belumlah tergarap secara proporsional.
Laut Indonesia mempunyai potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun. Jumlah tangkap yang diperbolehkan besarnya 80% dari potensi lestari sumber daya perikanan. Dengan demikian, jumlah tangkap yang diperbolehkan di laut kita sebesar 5,12 juta ton per tahun. Total tangkapan nelayan (baik tradisional maupun modern) Indonesia mencapai 3,6 juta ton. Berarti, selanjutnya kita masih bisa meningkatkan hasil tangkapan sebesar 1,5 sampai 2,8 juta ton setiap tahun.
Sayang, eksplorasi dan eksploitasi kekayaan tadi belum banyak dinikmati oleh bangsa kita secara optimal. Ke depan, berbagai strategi perlu ditempuh untuk mendayagunakan sumber daya kelautan sekaligus memberdayakan masyarakat nelayan dan kawasan pesisir. Ini berarti menuntut adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah.
Perlu dicatat, jika nenek moyang kita hidupnya lebih banyak di laut, hal itu menunjukkan bahwa mereka lebih jeli dibandingkan dengan kita saat ini, terutama dalam melihat potensi yang terkandung dalam lautan di seluruh penjuru Nusantara ini. Ironi ini lebih jauh bisa kita lihat lewat kenyataan bahwa hampir semua sendi kehidupan bangsa Indonesia kontemporer lebih banyak berlangsung di daratan. Sedangkan optimalisasi terhadap fungsi laut sebagai arena kegiatan kehidupan masyarakat relatif dipandang sebelah mata, untuk tidak mengatakan dikesampingkan sama sekali.
Kasus lepasnya Pulau Ligitan dan Sipadan dari kepemilikan Indonesia, kendati telah melalui proses diplomasi yang tidak sebentar, menunjukkan bahwa bangsa ini masih kurang peduli terhadap aset kelautan yang dipunyainya. Ketidakpedulian itu kian nyata dengan adanya realitas bahwa belum semua pulau yang berada di wilayah NKRI ini mempunyai nama.
Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah pulau yang berada dalam wilayah negara kita berjumlah 17.504 pulau. Ternyata dari jumlah tadi, 9.634 (sekitar 55%) buah pulau masih belum mempunyai identitas nama. Berarti lebih dari separuh pulau-pulau punya bangsa ini masih tidak jelas identitasnya. Bagaimana kita akan mengetahui pulau punya kita jika kita sendiri tidak tahu identitas milik kita itu?

Kesadaran bahwa bangsa Indonesia berada dalam sebuah negara kepulauan harus senantiasa ditanamkan sejak dini dalam hati sanubari para anak bangsa ini, sebagaimana melalui lagu nenek moyangku seorang pelaut. Tapi hal itu juga harus dibarengi oleh para penentu kebijakan di Nusantara ini untuk senantiasa memberi prioritas dalam semua bidang yang berhubungan dengan kelautan.

Selama ini, kendati bangsa Indonesia hidup di tengah kepulauan Nusantara, tapi semua kebijakan pemerintah lebih kerap berorientasi pada kegiatan di darat. Jumlah lembaga pendidikan bidang kelautan di Indonesia mungkin dapat kita hitung dengan jari. Karenanya, jumlah orang Indonesia yang berpendidikan bidang kelautan tentu saja minimal sekali di negeri yang mengaku sebagai negara kepulauan zamrut katulistiwa ini.
Jumlah skuadron pesawat tempur sebagai garda depan penjaga wilayah udara semua kepulauan Nusantara milik kita pun belum sanggup menjaga setiap sudut wilayah udara Indonesia. Ditambah lagi kondisi kapal patroli angkatan laut kita, baik jumlah maupun teknologinya, yang sangat minim. Kondisi itu, untuk menjaga pantai kita sepanjang sekian ribu kilometer, tentu saja amat memprihatinkan dan memalukan untuk suatu negara kepulauan ini.

Berapa jumlah industri perkapalan yang kita punyai? Berapa persen penduduk Indonesia yang hidupnya tergantung pada laut? Laut kita memang hampir tak pernah kita manfaatkan sama sekali. Justru negara atau bangsa lain yang mengambil keuntungan dengan melakukan pencurian besar-besaran terhadap potensi yang dipunyai laut kita, tanpa kita tahu bahwa kita sudah kehilangan.
Selama ini mindset kita masih melihat laut sebagai pemisah antarpulau. Padahal, semestinya laut kita lihat sebagai penghubung antarpulau yang ada di Indonesia ini. Laut merupakan pemersatu semua pulau yang ada di Indonesia, bukan pemisah antarpulau yang satu dengan yang lain. Laut merupakan halaman depan rumah yang menghubungkan kita dengan tetangga-tetangga yang satu dengan yang lain. Laut merupakan halaman depan rumah yang menghubungkan kita dengan tetangga-tetangga yang berada di pulau lain.
Di sisi lain, kemajuan teknologi belakangan ini juga memungkinkan kita untuk mengoptimalkan jalur hubungan antarpulau melalui transportasi udara. Namun untuk ini tentu diperlukan biaya yang jauh lebih tinggi, dengan persyaratan-persyaratan teknis penerbangan yang lebih rumit dan tak murah.
Kalau kegiatan di laut bisa lebih meningkat lagi, tentu saja di samping pembuatan dermaga modern dengan teknologi tinggi yang dapat dibangun pemerintah, masyarakat juga bisa menghidupkan kembali pelabuhan tradisional yang sudah ada. Selama ini kondisi pelabuhan tradisional kita cukup memprihatinkan karena memang tak ada optimalisasi perekonomian di lautan kita.
Jika kita bisa mengubah mindset kita selama ini, kita akan dapat kembali menjadi bangsa bahari dengan semua kejayaannya seperti nenek moyang pendahulu kita. Sudah waktunya bangsa Indonesia, yang kini mengaku telah berusia 63 tahun, melakukan reorientasi kembali terhadap prioritas tatanan kehidupan berbangsa dan bernegaranya sebagai bangsa bahari.
Dengan demikian, ke depan, kesadaran bahwa kita hidup di pulau yang dikelilingi lautan yang demikian luas dan kaya raya, seharusnya dibangkitkan kembali secara kontinyu. Ini semua, sekali lagi, tentu perlu ditopang dengan strategi dan kebijakan yang jelas dari pemerintah.


Sumber :
Gilnova.multiply.com
Harian Umum Pelita





Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Portofolio Design by Insight © 2009